Ketika Allah Menitipkanku Penyakit

Share this:

Oleh: Husain Nurisman

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

(QS. Al-Baqarah: 286).

Ayat tersebut yang selalu saya ingat dalam menghadapi semua permasalahan yang dihadapi dalam hidup, termasuk ketika divonis terkena Kanker Usus (Colorectal Cancer) stadium lanjut.

Saya adalah seorang karyawan swasta yang sehari-hari bertugas menangani berbagai  macam proses administrasi karyawan. Seringkali saya berhadapan dengan berbagai masalah kesehatan mereka, mulai dari yang terkena stroke, diabetes atau penyakit yang paling ditakuti yaitu kanker. Saya sangat mengerti penderitaan-penderitaan yang dihadapi.  Pada akhirnya banyak dari mereka pun harus menghadap Sang Pencipta disebabkan penyakit itu. Namun, sungguh  saya tidak menyangka bahwa akhirnya akan mengalami juga derita yang mereka alami.

Di akhir tahun 2016, entah mengapa tiba-tiba saya mengalami sembelit parah,  Berbagai usaha dilakukan mulai dari memakan buah-buahan sampai dengan minum obat pencahar. Namun tetap terjadi lagi sembelit parah.

Akhirnya, saya memberanikan diri ke dokter penyakit dalam untuk mengobati sembelit. Saat itu tak ada dugaan sama sekali bahwa saya akan terkena kanker. Karena ketika itu saya tidak mengalami penurunan berat badan yang drastis yang biasanya diderita penderita kanker kolorektal, walaupun terkadang Buang Air Besar (BAB) terlihat keluar darah segar. Saat itu dokter belum memberikan diagnosa yang mengarah kepada kanker. Untuk mengatasi sakit saya, dokter memberikan antibiotik obat lambung, karena katanya berpotensi ada iritasi berat

Masalah tidak kunjung selesai. Saya mencoba berkonsultasi dengan  dokter bedah umum. Dokter bedah menilai bahwa masalah saya hanya masalah wasir (Hemoroid). Tidak puas dengan jawaban dokter itu saya pun berkonsultasi pada dokter perusahaan. Saya disarankan untuk langsung ke dokter bedah digestif. Dari dokter spesialis ini saya diminta melakukan kolonoskopi. Dari sinilah akhirnya diketahui saya terkena tumor ganas (kanker).

Saat mengetahui terkena kanker, langsung terbayang saya akan mengalami masa-masa pengobatan yang sangat melelahkan. Bayangan akan menghadapi kematian juga sempat menghantui saya.

 

Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam pengobatan kanker kolorektal adalah menghilangkan tumor yang berada di usus saya dengan cara melakukan pemotongan. Permasalahannya adalah dokter tidak dapat menjamin setelah pemotongan akan dapat dilakukan penyambungan kembali. Ada kemungkinan saya akan menggunakan kantong (stoma) untuk proses pembuangannya.

Berbagai macam pikiran muncul atas pengobatan yang harus dilakukan. Saran untuk menggunakan jalur pengobatan alternatif juga berdatangan dan menggoda. Mereka mengatakan pengobatan kanker dengan cara kemoterapi tidak akan menjadi sehat, tetapi justru membuat menderita dan memperparah penyakit.

Dengan berbagai pertimbangan dan masukan, saya memutuskan untuk mengambil jalur pengobatan medis.  Dengan pengobatan dokter, menurut saya, telah teruji kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Akhirnya di awal 2017 dilakukan operasi pengangkatan tumor. Setelah itu dilanjutkan dengan proses kemoterapi. Ternyata proses kemoterapi memang bukan sebuah proses yang mudah dihadapi, terutama sangat berdampak terhadap kondisi kejiwaan si pasien. Karena itu, dalam menghadapi kemoterapi ini perlu banyak sekali dukungan dari orang orang sekitar yang dapat terus memberikan semangat agar proses kemo dapat dilalui dengan mudah.

Efek samping yang ditimbulkan dari obat kemoterapi relatif mudah untuk diatasi. Biasanya dokter akan memberikan berbagai macam obat lagi untuk meminimalisasi efek sampingnya. Yang lebih berat sebenarnya  efek pada kejiwaan pasien, yakni semangat pasien untuk sembuh dan tetap bertahan.

Hal tersebut juga yang saya alami. Seolah olah obat yang diberikan sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Yang ada hanya pikiran-pikiran liar yang selalu mengatakan, “Kok gini amat ya obatnya, sudah menderita akhirnya harus mati juga”. Pikiran-pikiran tersebut yang akhirnya membawa saya pada tahap merasa sebagai orang yang paling merugi, merasa marah kenapa harus saya yang terkena penyakit ini.

Untungnya, saya mempunyai orang-orang istimewa di samping saya. Istri dan anak-anak yang secara terus menerus memberikan semangat selalu mengingatkan bahwa “Allah sesuai dengan prasangka hambaNya”. Kalau saya berpikir tidak sembuh, maka tidak akan sembuh.  Begitupun sebaliknya.  Kalau saya berpikiran akan sembuh, atas seizin Allah, maka saya akan sembuh. Itu kata kata yang selalu diingatkan mereka.

Alhamdulilah, saya juga diperkenalkan dengan komunitas Cancer Information Support Center (CISC) usus. Bergabung di komunitas memungkinkan saya melihat  bahwa penderitaan yang saya hadapi itu bukan apa-apa dibandingkan dengan teman teman lain. Mereka ada yang harus menghadapi puluhan kali kemoterapi dan radiasi. Juga  beberapa kali menghadapi operasi.  Tetapi, mereka tetap sabar dan  tawakal menghadapi itu semua. Sungguh luar biasa!

Dari situ pikiran saya mulai terbuka. Saya tidak boleh cengeng. Saya harus kuat demi  anak-anak serta istri tercinta. Mulailah saya mencoba menerima penyakit ini.

Saat ini, saya malah merasa beruntung sebagai salah seorang terpilih, disayang oleh Allah melalui penyakit ini.  Saya seperti diingatkan untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya.

Awal tahun 2018 merupakan tahun yang membahagiakan bagi saya. Akhirnya berhasil melewati masa-masa sulit saat kemoterapi. Kondisi tubuh mulai membaik. Saya mulai bisa beraktivitas normal. Hingga saat ini efek kemoterapi masih sedikit terasa, tetapi saya lebih suka untuk mengacuhkannya. Saya lebih memilih untuk menikmati saja apa yang diberikan saat ini.

Allah memberikan saya kesempatan kedua untuk hidup, sehingga betul-betul harus saya manfaatkan sebaik-baiknya. Saya harus dapat membantu orang lain yang sedang mengalami sulitnya menjalani kemoterapi, juga  paniknya di saat terdiagnosa kena kanker. Itu yang selalu saya katakan pada diri sendiri agar hidup ini bisa lebih berarti, menjadi jalan kebaikan dan membawa manfaat bagi orang lain.

Leave a reply